
Kasus pemerasan yang melibatkan AKBP Bintoro, mantan Kasubdit Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, kembali menjadi sorotan publik. Bintoro telah dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) akibat dugaan keterlibatannya dalam kasus pemerasan. Meski demikian, Bintoro menyatakan tidak terima dengan keputusan tersebut dan mengajukan banding untuk memperjuangkan haknya. NAGAGG
Rincian Kasus
Kasus ini bermula dari dugaan pemerasan yang dilakukan terhadap beberapa penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Sebagai salah satu perwira di Direktorat Reserse Narkoba, AKBP Bintoro disebut menerima sejumlah uang dari korban yang diduga terlibat kasus penyalahgunaan narkoba.
Modus yang digunakan melibatkan penangkapan terhadap penonton, yang kemudian ditawari “penyelesaian” kasus dengan memberikan sejumlah uang kepada aparat. Dugaan ini tidak hanya mencoreng institusi kepolisian, tetapi juga memicu keprihatinan publik terhadap praktik penyalahgunaan wewenang di tubuh penegak hukum.
Tindakan Hukum dan Pemecatan
Setelah melalui pemeriksaan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Bintoro dinyatakan bersalah atas pelanggaran etik dan disiplin. Sebagai konsekuensi, ia dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Namun, Bintoro menolak menerima keputusan tersebut dan menyatakan akan mengajukan banding. Dalam pernyataannya, ia menyebutkan bahwa terdapat ketidaksesuaian dalam proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap dirinya.
Proses Banding
Proses banding yang diajukan oleh Bintoro akan ditangani oleh Dewan Pertimbangan Polri. Jika pengajuan banding diterima, maka keputusan PTDH terhadap dirinya dapat ditinjau ulang. Sebaliknya, jika banding ditolak, keputusan pemecatan akan tetap berlaku.
Langkah banding ini menunjukkan bahwa Bintoro masih berupaya untuk membersihkan namanya dan mempertahankan kariernya di kepolisian. Namun, publik berharap agar proses banding ini dilakukan secara transparan dan berlandaskan fakta hukum yang kuat.
Reaksi Publik
Keputusan pemecatan Bintoro telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Banyak yang mendukung langkah tegas Polri dalam menindak oknum yang mencoreng nama baik institusi. Namun, ada pula yang menilai bahwa kasus ini mencerminkan perlunya reformasi internal yang lebih mendalam di tubuh kepolisian.
Beberapa aktivis anti-korupsi juga menyoroti pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap anggota kepolisian, terutama mereka yang bertugas di bidang yang rawan penyalahgunaan kekuasaan seperti narkoba.
Dampak Kasus
Kasus ini memiliki beberapa dampak signifikan, baik bagi individu yang terlibat maupun institusi kepolisian secara keseluruhan:
- Citra Kepolisian: Kasus ini mencoreng citra Polri di mata masyarakat, terutama terkait integritas dan profesionalisme anggotanya.
- Kepercayaan Publik: Penanganan kasus ini menjadi ujian bagi Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
- Reformasi Internal: Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya reformasi dan pengawasan internal yang lebih ketat di tubuh Polri.
Harapan Publik
Masyarakat berharap agar kasus ini dapat ditangani dengan tegas dan transparan. Beberapa langkah yang diusulkan untuk mencegah kejadian serupa antara lain:
- Peningkatan Pengawasan Internal: Memastikan pengawasan yang lebih ketat terhadap anggota kepolisian.
- Pelatihan Etika Profesi: Memberikan pelatihan berkala tentang etika dan profesionalisme kepada anggota Polri.
- Transparansi Penanganan Kasus: Menyampaikan perkembangan kasus ini secara terbuka kepada masyarakat untuk menghindari spekulasi.
Kesimpulan
Kasus AKBP Bintoro yang dipecat karena dugaan pemerasan menjadi pengingat pentingnya integritas dalam institusi penegak hukum. Langkah tegas Polri dalam menindak oknum yang melanggar hukum diharapkan dapat memulihkan kepercayaan publik. Sementara itu, proses banding yang diajukan Bintoro akan menjadi bagian penting dalam memastikan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.
Tinggalkan Balasan